Rasanya sudah lama sekali tidak merasakan cuaca panas khas Negara Indonesia ini. Dan beginilah rasanya, begitu menyengat dikulit. Aku menghitung-hitung dalam kepalaku untuk memastikan sudah berapa lama pastinya aku meninggalkan negara ini dulu. Ternyata sudah 20 tahun lebih, dan selama itu aku tidak pernah pulang.
Saat itu awal bulan desember tahun 1991 aku mengunjungi rumah kedua orang tuaku, yang adalah tempat aku dibesarkan hingga menamatkan sekolah menengah atas-ku, di Jakarta, Indonesia. Akan kuceritakan sedikit bahwa setelah menamatkan SMA-ku di Jakarta tahun 1971, Aku hijrah ke London untuk melanjutkan kuliahku dibidang Ekonomi di University College London. Sejak SMA aku memang sudah berniat untuk bisa melanjutkan kuliahku keluar dari Indonesia. Namun karena ekonomi keluargaku yang sangat-sangat tidak memungkinkan untuk membuatku bisa kuliah diluar Indonesia, jadi aku hanya berpikir tentang satu-satunya cara yang bisa kulakukan, yaitu mengejar beasiswa. Tahun terakhirku di SMA aku gunakan dengan sangat-sangat baik untuk mempersiapkan diriku. Aku bekerja keras memenuhi segala hal yang harus dipersiapkan untuk bisa mendapatkan beasiswa, dan aku berhasil. Tepat ketika aku lulus dari SMA aku mendapat kabar bahwa aku telah diterima di University College London dengan beasiswa dari Kampus secara langsung. Dan pertengahan bulan agustus 1971 aku berangkat ke London.
Setelah lulus dari universitas pada tahun 1975 akhir, aku langsung mendapat pekerjaan disana. Singkat cerita aku mendapatkan jodohku disana, menikah diLondon dan akhirnya setelah 10 tahun aku tinggal di London, aku memutuskan untuk menjadi warga negara Inggris. Dan begitulah aku tinggal di London dan tidak pernah kembali lagi ke Indonesia sebelum aku mendapatkan telepon dari Ibuku bahwa adikku Lea akan menikah. Jadi aku pikir ini adalah momen yang tepat untuk mengunjungi Indonesia mengingat sudah bertahun-tahun aku tidak pulang. Tiga hari yang lalu aku sudah berada di negara ini lagi.
Pernikahan adikku, Lea, akan dilaksanakan lusa. Jadi sebenarnya aku punya banyak waktu untuk jalan-jalan, tapi aku tidak melakukannya. Aku lebih ingin menghabiskan waktuku dengan keluargaku, bercerita banyak hal tentang apapun yang aku lewatkan sejak keberangkatanku dulu. Sesekali juga aku bercerita tentang pekerjaanku. Esok harinya, karena dipaksa oleh Ibuku, katanya tidak apa-apa kalau aku mau berjalan-jalan, daripada bosan dirumah, akhirnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan ke Monumen Nasional, sebuah tempat bersejarah dikota ini.
Ketika berada di Monas, tiba-tiba aku melihat seorang yang rasanya aku kenal. Aku meyakinkan diriku sekali lagi bahwa orang itu memang aku kenal. Pak Tjandra, tetangga kami saat itu. Tapi aku tidak menyapanya, karena aku takut salah orang. Pak Tjandra dan keluarganya adalah tetangga kami yang tiba-tiba menghilang begitu saja saat itu. Tidak ada yang tahu kemana mereka pindah, karena tiba-tiba saja rumah mereka sudah kosong. Saat itu aku kelas dua SMA. Bicara tentang Pak Tjandra, aku ingat pada sebuah cerita yang tidak akan pernah aku lupakan. Cerita ini mengenai Kiara, anaknya Pak Tjandra.
Aku mengenal Kiara sudah sejak dari Taman Kanak-Kanak. Dia adalah teman kecilku. Bukan hanya karena rumah kami berhadapan, tapi juga karena kami berada disekolah yang sama hingga SMA. Setidaknya hingga kelas 2 SMA, sebelum Kiara dan keluarganya pindah dan menghilang begitu saja. Saking dekatnya Aku dan Kiara, kami telah berbagi banyak hal, banyak rahasia dan banyak cerita. Kiara mengenalku sangat baik, tahu makanan kesukaanku, hal-hal yang kusukai dan tidak kusukai, dan semua cerita yang bersifat pribadi. Begitu juga denganku, Aku mengenal Kiara dengan sangat baik, semua hal tentang yang dia suka dan tidak, cerita-ceritanya dan satu hal yang paling rahasia, dan aku menyadari hal ini yang menyebabkan dia dan keluarganya hilang pada saat itu, yaitu phobianya terhadap Kupu-Kupu. Aku pastinya satu-satunya teman Kiara yang mengetahui tentang hal ini.
Agak aneh memang awalnya ketika aku mengetahui hal ini, maksudku hewan kupu-kupu kan bukan hal yang mengerikan. Saat itu kami kelas dua SMP. Awalnya aku menertawakan Kiara ketika dia menceritakan hal ini, tapi dia tidak suka dengan responku saat itu. Dia bilang satu-satunya kenapa dia memberitahuku tentang phobianya ini adalah karena dia ingin aku melindunginya suatu saat dari Kupu-Kupu dan berjanji tidak pernah mengatakan pada siapapun. Aku melihatnya dan dia tampak begitu serius mengatakannya. Aku mengiyakan janji itu namun dalam hatiku aku tidak begitu serius mengatakannya. Sampai suatu hari aku melihat kiara pingsan karena sesak nafas karena ada satu kupu-kupu kuning menghampirinya saat aku dan dia sedang belajar dihalaman belakang rumahnya, dan hal itu menyebabkan dia masuk rumah sakit. Sejak kejadian itu, aku baru menyadari bahwa phobianya Kiara tidak main-main dan sangat berbahaya baginya. Dan aku berjanji pada diriku akan melindunginya dari Kupu-Kupu.
Sampai suatu hari pada saat aku dan Kiara sudah kelas dua SMA, suatu keadian besar terjadi pada Kiara. Kejadian yang seharusnya aku ada untuk melindunginya. Kejadian yang seharusnya aku ada disana mencegah itu terjadi. Pagi itu bulan Juni 1970, aku kesiangan dan membuatku terlambat ke sekolah. Aku terlambat kira-kira setengah jam, ketika aku masuk kelas pemandangan buruk itu terpampang dihadapanku dengan segala kekagetanku. Aku tidak pastinya tidak bisa menghitung berapa jumlah kupu-kupu itu, banyak sekali. Kumpulan kupu-kupu itu beterbangan disegala penjuru kelas diikuti tertawaan murid-murid kelas kepada Kiara yang duduk terdiam dengan tatapan kosong didepan kelas. Aku kaget bukan main karena mengetahui anak-anak kelas mengerjai Kiara dengan cara ini, yang sangat berbahaya untuknya, apalagi aku telah melihat apa yang bisa dilakukan satu ekor kupu-kupu kuning kuning kecil pada Kiara. Tapi hari itu kekagetanku bertambah karena Kiara baik-baik saja. Aku tahu Kiara bukan baik-baik saja, tentu saja Ia tidak menyukai hal ini, tapi ratusan kupu-kupu itu tidak membuat Ia ketakutan dan menjadi sesak nafas seperti yang kulihat waktu itu. Aku berpikir apakah ia sudah sembuh dari Phobia.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa saat itu ketika tatapan kosong Kiara yang sebelumnya pada papan tulis didepan beralih kearahku. Matanya tajam menatap mataku, dari mata itu aku bisa melihat dia sedang tidak baik-baik saja. Dia menatapku dengan tatapan kosong tanpa ekspresi seolah menyalahkanku atas kejadian ini. Mungkin. Kiara lalu berjalan pergi meninggalkan kelas begitu saja. Aku menyusulnya dan menarik tangannya untuk memastikan apakah dia baik-baik saja. Tapi Kiara terus berjalan mengambil sepedanya dari parkiran dan langsung bergegas meninggalkan sekolah. Aku tidak pernah menyadari bahwa itulah kali terakhir aku melihat Kiara. Keesokan harinya, rumahnya telah kosong, tiada lagi penghuni dirumah itu, keluarga Pak Tjandra, Kiara telah pergi, pindah entah kemana. Meninggalkanku dengan beribu pertanyaan yang belum terjawab. Aku tidak pernah tahu apa yang terjadi lagi dengannya. Tidak sama sekali. Kiara, teman kecilku itu, hilang ditelan bumi.
Sampai hari ini aku melihat orang yang seperti Pak Tjandra di Monas. Orang itu mengambil foto Monas dengan kamera Polaroid. Setelah melihat hasil fotonya orang itu tersenyum dan berjalan menuju pintu keluar Monas. Entah apa yang merasukiku saat itu, mungkin penasaran bagaimana kalau itu memang Pak Tjandra tetangga kami yang dulu menghilang dan itu hal bagus bahwa mungkin aku bisa bertemu lagi dengan Kiara, sahabat kecilku. Aku mengikuti orang itu menuju pintu keluar Monas dan dia memanggil taksi. Setelah taksinya meluncur, aku sempat ragu-ragu, tapi akhirnya aku memutuskan untuk membuntutinya, dan mencari tahu dimana mereka tinggal sekarang. Aku memanggil taksi dan menyuruh supirnya mengikuti taksi yang ditumpangi Pak Tjandra.
Taksi yang tumpangi Pak Tjandra tidak begitu kencang jadi tidak sulit untuk mengejar taksi itu. sekitar 30 menit aku membuntutinya, taksi didepan kami tiba-tiba berbelok di sebuah tempat didepan kami. aku membaca papan nama diatas bertuliskan RUMAH SAKIT JIWA DR. SOEHARTO HEERDJAN. Seketika begitu banyak pertanyaan menghampiri otakku, apa maksudnya kami menuju tempat ini. Aku tidak bisa membayangkan kemungkinan-kemungkinan apapun. Taksi yang kutumpangi berhenti ditepi jalan gerbang masuk rumah sakit itu dan aku berjalan kedalam dan tetap pada rencanaku semula membuntuti Pak Tjandra.
Rumah Sakit itu tampak tua sekali bisa dilihat dari modelnya yang kuno. Aku bisa melihat Pak Tjandra turun dari taksinya dan selepas membayar ongkos taksi, dia berjalan memasuki rumah sakit. Aku buru-buru mengejarnya supaya tidak kehilangan jejaknya. Ketika kakiku hampir memasuki ruangan lobi rumah sakit, seketika orang yang tadi kubuntuti langsung mencegatku dan membuatku kaget. Dia menahanku dan bertanya siapakah diriku dengan muka yang tampak curiga dan waspada. Aku persingkat ceritaku, dan benarlah dugaanku memang itu Pak Tjandra tetanggaku dulu yang hilang, Ayahnya Kiara. Awalnya dia tampak ragu-ragu hendak mengakui bahwa dirinya memang Pak Tjandra, tetapi pada akhirnya dia mengakuinya. Ketika aku bertanya apa yang terjadi pada saat kepindahan mereka 21 tahun yang lalu dan bagaimana kabar Kiara, dia tampak sedih dan sebelum dia menjawabnya, dia mengajakku masuk kedalam. Dia menerangkan dia kesini untuk mengunjungi seseorang dari keluarganya. Aku mengikutinya saja tanpa bertanya lagi walaupun pikiranku tetap bermain dengan beribu-ribu pertanyaan yang belum terjawab. Akhirnya kami tiba disebuah pintu kamar. Dia menahanku sebentar, terdiam beberapa saat, tampak keraguan dimatanya saat dia menatapku. Lalu dia mengajakku masuk ke kamar itu. Ketika pintu dibuka kami telah berada disebuah kamar yang serba putih dan ada seorang disana. Seorang wanita. Aku tersontak kaget ketika melihat paras wanita itu. Tak percaya dengan siapa yang berada dihadapanku saat ini. Dia.. Kiara, sahabat kecilku dulu. Aku tak mungkin melupakan wajahnya. Walaupun dia tak tampak seperti seorang anak SMA lagi, tetapi tetap saja aku mengenalinya.
Dia sedang memandang kosong dinding dihadapannya dengan memeluk sebuah boneka Smurf yang sudah kumal. Tampak bekas gigitan di ujung topi kerucut si Smurf tersebut. Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat, tak bisa berbicara. Kiara menoleh kearah kami dan kemudian dia menatapku. Pandangan mata kami bertemu tetapi, tetapi dia tak merespon apapun. Pandangan matanya cuma sebatas pandangan saja. Pandangan mata kosong yang tak berarti apa-apa. Entah dimana jiwanya. Apa dia melupakanku? Rasanya tidak. Kiara, sahabat kecilku itu. Air mataku tak terasa tiba-tiba keluar begitu saja dari kelopak mataku. Aku terduduk dikursi yang ada didekat tempat tidur Kiara berada. Dia masih cuma terduduk disana memeluk bonekanya seakan jiwanya entah berada disana.
Aku sepertinya telah menghabiskan waktu selama satu jam dalam dirumah sakit tersebut mendengarkan semua cerita Pak Tjandra tentang yang terjadi pada Kiara dan keluarganya. Lalu aku pamit pulang karena Ibuku telah menelepon. Dalam perjalanan pulang, didalam taksi, aku tak hentinya memikirkan semua cerita Pak Tjandra. Aku menyalahkan diriku. Air mataku mungkin mengalir dalam hati mengingat apa yang terjadi kepada Kiara selama ini. Selama waktu yang aku pikir dia telah hilang entah kemana, ternyata dia selama ini sudah berada dirumah sakit itu. Tragedi yang terjadi dikelas dua SMA kami 21 tahun yang lalu itu, tragedi ratusan kupu-kupu dikelas itu, saat terakhir aku melihat Kiara, membuatnya menjadi seperti apa yang baru saja aku lihat padanya dirumah sakit. Kiara, sahabat kecilku itu, pikirannya sesat entah kemana, karena kupu-kupu. Dan tak mampu kutahan lagi, air mataku jatuh menetes menyalahkan diriku atas semuanya.
[ short story ]