Begitu tenang dan sejuk cuaca hari ini. Sayang sekali kalau harus dilewatkan begitu saja. Masih jam setengah delapan pagi ketika aku selesai melahap habis sarapan pagiku tadi, dan sekarang aku belum memikirkan rencana apa yang akan aku lakukan hari ini.
Saat ini aku sedang berada jauh dari rumahku, karena aku sedang mengunjungi rumah anak tunggalku satu-satunya, Jena. Walaupun sebenarnya saat itu aku berusaha mati-matian menahan anak gadisku untuk tetap tinggal bersamaku di Semarang, namun pada akhirnya aku mengikhlaskannya untuk ikut bersama suaminya di Jakarta. Tentu aku tidak bisa tahan melihat anak gadisku sengsara jika harus jauh dari seseorang yang dicintainya. Aku mencintainya karena dia anakku, tetapi tentu saja ada saatnya aku harus merelakannya untuk menjalani kehidupan keluarganya ketika dia menikah 25 tahun yang lalu. Suaminya, Alan, adalah seorang dokter gigi yang bekerja di Rumah Sakit swasta di Jakarta dan juga memiliki tempat praktik sendiri. Alan dan Jena memiliki dua orang anak. Brian yang paling tua saat ini sudah bekerja disebuah firma arsitektur, dan itulah alasan aku mengunjungi mereka saat ini karena dia akan mengenalkan seorang wanita pujaannya kepada keluarganya yang kudengar juga mereka sudah berpikir untuk menikah. Sedangkan Ayla adalah anak bungsu mereka yang sedang berkuliah di bidang sastra saat ini.
Ayla, cucu perempuanku itu mengingatkanku pada Julie-ku. Wanita yang paling kucintai didunia ini. Wanita yang memberiku Jena. Mata Ayla bulat berwarna hitam kelam sama seperti mata Julie-ku. Begitupun rambutnya yang ikal benar-benar sesuai dengan Julie-ku. Cucu perempuanku itu entah bagaimana pada caranya selalu berhasil mengingatkanku pada Julie-ku. Istri tercintaku yang melukaiku dengan meninggalkanku dan Jena dengan cara yang tidak bisa untuk kuhindari. Bukan Julie, tetapi Tuhanlah yang melukaiku, dia mengambil Julie-ku. Karena itulah aku memutuskan untuk tak pernah lagi berbicara dengan Tuhan. Aku meninggalkan gereja dan keyakinanku, karena Tuhan melukaiku dan aku tidak bisa memaafkan itu.
Aku bertemu Julie ketika aku bekerja sebagai pelayan restoran dikota Yogyakarta. Saat itu usiaku 26 tahun. Julie adalah karyawan yang sama ditempatku bekerja namun ia adalah seorang kasir. Julie pertama kali datang direstoran itu ketika aku sudah bekerja sekitar enam bulan. Entah bagaimana ketika pertama kali melihatnya aku benar-benar takjub dan terpesona. Dia gadis yang cantik, matanya bulat berwarna hitam, rambutnya ikal tebal berwarna sedikit pirang. Dia selalu bersikeras bahwa warna rambutnya itu memang agak pirang sejak lahir. Senyumnya selalu bisa mendamaikan hatiku. Dia begitu sempurna dimataku. Saat istirahat dari pekerjaan kami sering makan siang bersama dan diluar jam pekerjaanpun kami sering menikmati waktu bersama, jalan-jalan bersama. Hanya butuh waktu sebulan bagiku untuk mengenalnya sampai aku mengutarakan isi hatiku bahwa aku mencintainya. Dan butuh setahun pacaran sebelumnya akhirnya kami memutuskan untuk menikah.
Aku menikah dengan Julie pada bulan Maret 1969, setahun setelahnya Jena lahir. lalu tragedi menyakitkan itu terjadi. Julie meninggal ketika usia pernikahan kami masih satu setengah tahun. Saat itu kami sudah memiliki Jena kecil yang berusia empat bulan. Julie meninggal dengan cara yang-entahlah-tetap tidak bisa kuterima dengan ikhlas. Julie-ku meninggal karena sakit. Sekitar dua bulan setelah melahirkan Jena dia mulai merasakan penyakit itu. Awalnya demam dan tubuhnya panas luar biasa. Dokter mendiagnosanya penyakit tifus. Kondisinya semakin hari semakin memburuk. Penyakitnya itu membuat kami memutuskan untuk memberi Jena kecil kami saat itu susu formula, karena kondisinya tidak memungkinkannya untuk memberi ASI nya kepada Jena. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, sakitnya tambah parah dan dia tidak bisa bangun dari tempat tidur sama sekali. Ibuku yang merawatnya dan menjaga Jena kami ketika aku sedang bekerja. Ditempat kerjapun aku tak pernah bisa berpikir dengan jernih, selalu memikirkan Julie. Aku ingin dia sembuh, secepatnya. Namun ternyata Tuhan berkehendak lain, pada bulan juli 1970 Julie menghembuskan nafas terakhirnya. Meninggalkanku bersama Jena kecil kami.
Bagaimana mungkin Tuhan merenggutnya dari hidupku yang sebelumnya penuh kebahagiaan yang luar biasa. Tuhan benar-benar melukaiku saat itu. Dan aku marah luar biasa. Aku membesarkan Jena seorang diri dan tidak pernah terpikirkan untuk menikah lagi setelah itu. Aku benar-benar mencintai Julie, dan aku benar-benar tak mampu untuk menggantikan dia di hatiku.
Tiba-tiba Ayla mengagetkanku dari lamunanku tentang Julie ketika dia pamit akan berangkat kuliah. Aku melihat cuaca diluar yang tidak begitu hangat. Karena tak ada rencana, aku memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di sekitar komplek.
* * * *
Saat itu bulan februari tahun 2016, malam tampak begitu cerah dan bulan begitu terang. Aku sudah berada dimeja makan bersama Jena dan suaminya Alan, kemudian kedua cucuku, Brian dan Ayla. Makan malam itu adalah spesial karena Brian mengatakan akan mengenalkan wanita pujaannya kepada kami. Untuk itulah Jena menelponku minggu lalu untuk mengunjunginya ke Jakarta. Kami masih menunggu kedatangan wanita pujaan cucuku itu. Aku bisa melihat kedalam mata cucuku itu bagaimana perasaannya saat ini. Perasaan bahagia karena cintanya pada seorang wanita. Sama seperti yang kurasakan ketika aku mengenalkan Julie pada orangtuaku dulu. Dan entah bagaimana aku cukup yakin wanita pujaan cucuku itu adalah wanita yang baik dan sangat mencintainya. Entahlah, aku bahkan belum bertemu dengannya.
Tak lama kemudian bel rumah berbunyi dan Brian dengan semangat langsung menuju ke pintu depan. Kedua orang tuanya hanya tersenyum melihat putranya yang sedang mabuk karena asmara itu. Dan benarlah wanita pujaannya cucuku itu yang datang.
Brian kembali ke meja makan dengan pacarnya itu dan mengenalkannya kepada kami. Aku sedang sibuk menuangkan anggurku ketika kemudian aku tersontak mendengar Brian mengenalkan wanita itu kepada kami dengan nama Julie. Seketika aku menolah kepada gadis itu, dan apa yang ada dihadapanku sekarang hampir membuatku mati berdiri. Mata itu, Rambut ikal kepirangan itu, bahkan senyum gadis itu, tak mungkin bisa ku lupakan sama sekali. Wanita itu mirip sekali dengan Julie-ku. Gadis itu yang tadinya tersenyum, tiba-tiba berubah mukanya ketika melihatku. Raut muka yang kaget dan dan cuma terdiam. Agak lama aku menatapnya sebelum akhirnya dia sudah bergabung bersama kami dimeja makan itu.
Dimeja makan itu Brian bercerita banyak hal tentang pekerjaannya dan Julie. Sesekali aku memandang kearah gadis itu, dan dia juga menatapku dengan ekspresi yang dingin seolah tak percaya. Dalam pikiranku ini pasti sebuah kesalahan. Bagaimana mungkin diusiaku yang sudah 73 tahun ini aku bertemu dengan orang yang sama dengan nama yang sama dan semuanya serba sama dengan orang yang aku jumpai 43 tahun yang lalu.
Makan malam itu berakhir dengan menyisakan kejanggalan dalam diriku. Aku seperti mengenal gadis itu seperti Julie-ku, dan seolah gadis itu juga mengenalku. Sejak malam itu aku mulai memikirkan ide ini.
* * * *
Tiga hari setelah makan malam itu, aku memutuskan kembali kerumahku di Semarang dan ide gila itu meracuniku. Sehari setelah sampai di Semarang, saat itu jam 10 malam dan cuaca tampak begitu cerah. Aku membawa peralatan yang kubutuhkan dan aku berangkat menuju tempat itu, Pemakaman Umum dimana Julie-ku beristirahat. Aku telah sampai dipemakaman itu dan tidak sulit bagiku untuk menemukan makam Julie. Karena aku tiap bulan selalu datang kesini. Sesaat aku terpikir untuk pulang saja karena aku pasti sudah gila. Tapi akhirnya aku tetap melanjutkan rencanaku.
Aku mulai menggali makam itu. Diusiaku yang sekarang ini adalah hal yang berat untuk menggali tanah seorang diri. Tapi aku tetap melakukannya. Aku pasti sudah menggali selama 40 menit sampai ujung sekopku menyentuh papan bekas peti mati yang telah rusak itu. peti itu udah hancur. Tentu saja karena sudah 40tahun lebih peti itu berada didalam tanah. Aku terus menggali dan menghancurkan peti kayu yang sudah bobrok itu. Dan aku tidak menemukan sisa tulang-tulang mayat didalam peti itu. Bagaimana mungkin dalam peti itu tidak ada tulang apapun. Yang seharusnya ada. Aku terus menggali sedalam mungkin dan walaupun aku yakin sisa-sisa peti itu udah kukeluarkan semua dari dalam tanah, tetapi aku tetap tak menemukan tulang-tulang wanita-ku yang telah terbaring disana. Aku terdiam membayangkan semuanya. Kemungkinan-kemungkinan yang tak mungkin tentang Julie-ku. Menghadapi satu-satunya penjelasan bahwa Julie-ku tidak pernah berada didalam peti itu selama ini. (gambar ilustrasi dari google).
[-]
0 komentar:
Post a Comment