Musim dingin dipenghujung tahun 2025 aku memutuskan untuk keluar dari rutinitas tak kenal ampun ini. Hal yang seharusnya sudah aku lakukan sepuluh tahun sebelumnya, namun baru saja terjadi setelah gejolak dalam diriku memantapkan dirinya untuk menyetujui keputusan ini. Iya, aku berhenti bekerja. Aku ingin melanjutkan sisa perjalanan hidupku dengan tidak normal. Tapi aku tidak ingin ambil pusing untuk menanggapi bagaimana keluargaku dan orang-orang memahami konsep “tidak normal” yang aku punya ini sesuai dengan pemikiran mereka. Aku tidak mau ambil pusing. Iya, aku memahaminya untuk diriku sendiri saja.
Memang sudah aku rencanakan sejak lama bahwa aku akan berhenti bekerja antara umur 30-35. Setelah itu aku ingin berpindah-pindah dari kota ke kota sembari melakukan apa yang dari dulu ingin aku lakukan di sisa-sisa masaku, yaitu melakukan perjalanan tanpa rencana dan menulis apa yang terjadi selama waktu itu. Aku tidak terlalu memikirkan bagaimana aku harus hidup tanpa bekerja. Aku rasa aku punya cukup tabungan yang aku punya sejak dari pertama kali aku bekerja sampai aku memutuskan untuk berhenti bekerja. Kalaupun tidak cukup, aku yakin ada jalannya. Begitulah rencananya saat itu.
Dan rasa muak dengan rutinitas itulah yang akhirnya memantapkan aku untuk berhenti bekerja dan segera memulai petualangan ini. Aku memulainya dengan menyusun rencana dari mana aku akan memulai perjalanan ini. Kadang aku menertawakan diriku sendiri, yang rasanya hidupku sebelum hari ini semuanya seperti lelucon dan setelah hari ini baru memasuki masa-masa serius. Walaupun tidak seperti itu seratus persen. Sempat juga terlintas dalam pikiranku tentang kehidupan teman-temanku dan orang-orang yang aku kenal dimana diusiaku saat ini mereka pasti tanpa henti bekerja untuk membina keluarga kecil mereka, menabung untuk biaya pendidikan anak mereka nanti dan merencakan liburan akhir tahun yang indah. Aku tidak iri, aku bahagia melihat orang-orang yang kukenal menikmati hidup mereka entah bagaimanapun itu. Sama sepertiku dengan hidupku.
Tiga hari setelah aku berhenti bekerja itu, aku masih menyusun rencana-rencana perjalananku akan mulai dari mana. Sambil berpikir itu aku tiba-tiba terpikir untuk pergi ke Museum. Museum memang menjadi salah satu tempat favoritku untuk menghabiskan waktu kalau aku sedang jenuh. Jadi siang itu aku berangkat ke Museum. Seperti umumnya orang yang pergi ke museum aku berkeliling-keliling saja menatapi seni-seni aneh dan unik yang tak semua orang bisa paham itu. Saat itu sedang ada pameran lukisan pulpen. Jadi semua lukisan yang dipamerkan bulan itu adalah karya-karya lukisan yang dibuat dengan hanya tinta pulpen. Aku berhenti pada sebuah lukisan sepeda kuno yang ukurannya cukup besar. Aku berhenti disitu karena lukisan itu mengingatkan aku pada sepeda tua milik ayahku dulu. Sepeda kuno itu, cukup membuat aku rindu sejenak dengan masa kecilku. cukup lama aku berdiri didepan lukisan itu, lalu tiba-tiba seorang berdiri tepat disamping juga menatap lukisan itu. Aku sempat mencuri pandang disebelah kiriku untuk memastikan bahwa orang itu masih disana. Dia seorang wanita berambut blonde yang mengingatkan aku pada Charlize Theron difilm Atomic Blonde. Agak lama aku masih berdiri menatap lukisan itu, wanita disampingku itu belum beranjak juga. Muka tampak sedang melamun dan menjelaskan bahwa lukisan ini juga sepertinya mengingatkan dia akan sesuatu.
Tiba-tiba dia bertanya apakah lukisan itu punyaku. Aku terkejut dan dengan sedikit heran menjawab bahwa itu bukan lukisanku. Tentu saja itu bukan lukisanku, aku hanya datang untuk menikmati lukisan itu. Aku penasaran bagaimana dia bisa berpikir bahwa lukisan itu milikku dan ternyata alasan dia adalah dia cuma basa-basi membuka pembicaraan. Dan kami hanya tertawa. Dan singkat cerita, pertemuan di depan lukisan sepeda kuno itu membawa kami pada obrolan panjang antara dua orang asing pada waktu yang tidak direncanakan kala itu. Sambil berjalan berkeliling museum kami hanya berbicara saja. Mulai dari menit-menit canggung yang tak terhindarkan hingga akhirnya obrolan itu sedikit demi sedikit bisa menjadi lumayan tidak canggung lagi. Aku cukup mengetahui bahwa wanita itu berasal dari Minsk, Belarus. Negara didekat Rusia sana. Jauh sekali. Benar. Dia datang ke Jakarta sendirian sejak tiga hari sebelum pertemuan kami di museum. Saat aku bertanya kenapa jauh-jauh dari sana bisa sampai dijakarta, dia tidak bilang apa alasannya. Jelas dia sedang tidak ingin membagikan hal itu. Dan aku tak melanjutkan pertanyaan itu lagi karena menurutkupun tetap saja kami hanya dua orang asing yang bertemu pada lompatan waktu yang sama, dan tak perlu harus berbicara lebih jauh untuk menanggalkan kesan orang asing pada masing-masing diri kami. Jadi aku tidak terlalu ambil pusing. Kami juga sempat bertukar nomor telpon. Tidak lebih dari dua jam akhirnya dia bilang harus kembali ke penginapannya, dan bersamaan itu juga aku pun beranjak untuk pulang.
Kami berpisah didepan museum. Aku mengantarnya hingga dia mendapat taksi duluan baru aku pulang. Tepat ketika dia hendak masuk kedalam mobil, dia berbalik padaku dan bilang mungkin aku harus pergi ke Minsk suatu saat, dan jika itu terjadi dia bilang mungkin dia bisa jadi pemandu wisataku. Dia tersenyum setelah bilang itu dan akhirnya masuk kedalam taksi dan meninggalkan museum itu dengan diriku masih berdiri memikirkan kata-katanya barusan. Pergi ke Minsk?, aku cuma tersenyum memutar-mutar kalimatnya barusan dalam pikirannku sambil berjalan kaki pulang.
--bersambung--
[short story]
0 komentar:
Post a Comment