Aku tidak bisa tidur. Lagi. Sama seperti malam-malam sebelumnya. Mataku sayu dan lelah. Badanku terasa sangat sempoyongan bahkan dalam keadaan duduk sekalipun. Aku tidak ingat kapan mulainya hal ini terjadi, tapi rasanya udah berbulan-bulan lalu aku terakhir merasakan yang namanya tidur nyenyak. Didalam ruang sempit nan remang dan jam kecil digital led berwarna biru diatas meja disudut sana menunjukkan pukul 04.13 AM, pikiranku tetap tidak berhenti bekerja. Bahkan obat tidur pun tidak bisa membantu sama sekali. Aku sudah mencobanya. Aku tidak suka ini namun aku juga tidak bisa menghindarinya. Ya Tuhan, aku ingin sekali bisa tidur.
Tiba-tiba dalam otakku aku mulai merasa sepertinya aku perlu menemui terapis. Aku sebenarnya bukan orang yang suka berbicara atau terbuka dengan orang, apalagi orang yang aku sama sekali tidak kenal, dalam hal ini adalah psikiater. Tapi aku merasa aku tidak punya pilihan lagi. Aku mengambil ponselku dan membuka aplikasi google map. Aku mulai mencari tempat-tempat terapi yang dekat dengan apartemenku tinggal, karena aku tidak mau jauh-jauh bepergian dengan badanku yang sangat-sangat lelah ini. Dan akhirnya aku menemukan satu tempat yang letaknya kalau aku lihat di map cuma beberapa blok saja dari tempatku tinggal. Baiklah, aku meyakinkan diriku ketika pagi tiba aku akan kesana. Kuletakkan ponselku Kembali diatas meja, aku berbaring seperti biasa. Dengan mata terbuka menatap kipas angin yang berputar lamban dilangit-langit kamarku tanpa ada pilihan lain untuk bisa dilihat.
Jam 09.13 pagi aku berangkat berjalan kaki menuju tempat terapi itu. Matahari yang tak terlihat dibalik gelapnya langit pagi itu dan angin dingin yang seperti mengikis kulit mukaku menambah rasa tidak enak dibadanku. Kucoba untuk mempercepat langkahku karena sepertinya akan hujan. Sekitar 10 menit aku berjalan akhirnya aku sampai ditempat itu.
Terapis itu seorang Wanita kira-kira berumur akhir 30an menjelang umur 40, mukanya ceria karena tersenyum mulu sejak awal aku bertemu dengannya. Akhirnya sesi awal itu mulai. Aku mulai menceritakan apa yang aku alami, bagaimana aku kesulitan untuk tidur, dan sebagainya. Cukup lama juga aku bercerita sambil terpotong-potong dengan interupsi Wanita psikiater itu seperti orang yang sedang menginterogasi seseorang. Sejujurnya aku tidak pernah mengalami diinterogasi oleh polisi, namun aku yakin rasanya akan sama seperti saat ini dan ini cukup mengintimidasi diriku.
Akhirnya setelah cukup menginterogasiku dia melihat catatan yang dia buat selagi aku bercerita. Dia menawarkan padaku untuk menjalani sebuah terapi yang dia sebut, aku tidak tahu persisnya apa itu, intinya terapi ini adalah menggunakan metode hipnotis. Aku bilang aku tidak peduli terapi apapun selama hasil akhirnya adalah aku bisa kembali merasakan tidur yang nyenyak. Entah bagaimana aku menjelaskan hal ini, namun rasanya aku percaya saja kepada wanita terapis ini. Dia bisa membawa suasana yang membuat aku nyaman untuk berbicara secara gamblang, aku tidak tahu mungkin mereka terdidik untuk seperti ini. Mungkin. Aku tidak tahu.
Sang terapis itu membawaku berbaring disebuah tempat tidur khusus diruangan itu yang kurasa memang dikhususkan untuk pasiennya. Aku berbaring disana. Dia mulai memainkan sebuah musik relaksasi sambil menyuruhku memejamkan mata. Aku mengikuti arahannya dan dia mulai berbicara dengan nada yang lebih lembut. Kalimat yang dia ucapkan sepertinya sebuah puisi. Aku tidak tahu tapi sepertinya memang iya. Kalimat yang sepertinya dipakai dia untuk menuntunku selama sesi terapi. Aku mendengarkan saja sambil tetap memejamkan mataku. Tapi lama kelamaan suaranya semakin mengecil. Dia seperti berbicara sambil menjauh. Namun karena arahannya aku tetap harus memejamkan mata selama sesi ini, jadi aku tetap tidak membuka mataku. Semakin jauh semakin jauh dan semakin mengecil sampai akhirnya suaranya hilang sama sekali. Aku rasa baru sekitar 3 menit saja kami mulai. Aku berusaha untuk mendengarkan lagi. Aku bertanya-tanya dalam pikiranku, apakah sesi ini sudah selesai atau apakah dia sedang turun kebawah mungkin saja ada tamu. Oke, aku putuskan tetap berbaring dengan memejamkan mata. Mungkin sebentar lagi dia akan kembali dan melanjutkan sesi.
Sekitar 5 menitan rasanya aku menunggu namun tidak ada suara. Aku akhirnya mulai berbicara dan memanggil terapis itu dan bertanya apakah terapi ini masih mulai atau sudah selesai, karena rasanya sebentar sekali dan aku tidak merasakan apa-apa. Karena tidak ada jawaban sama sekali, oke persetan ini. Aku akhirnya membuka mataku. Aku masih berada diruangan yang sama namun wanita itu tidak ada. Aku memanggil-manggil sambil tetap berbaring. Tak ada jawaban. Aku lalu duduk dengan kepalaku terasa agak pusing. Baru saja aku duduk tiba-tiba aku tersentak kaget denga apa yang aku lihat dihadapanku disudut ruangan itu. Bulu kudukku berdiri, ada keringat dingin bercampur. Tak mungkin aku salah lihat. Ku usap mataku untuk memastikan bahwa aku benar-benar melihat apa yang sedang kulihat atau kalau tidak aku berharap yang kulihat itu menghilang saja. Tapi aku masih melihatnya. Perlahan sosok itu melangkah maju mendekatiku. Aku terdiam dan karena perasaan horror dan ngeri ini aku menjadi tak mampu bergerak sama sekali. Sosok wanita dengan menggunakan gaun berwarna putih dan selama 10 detik kemudian aku baru menyadari bahwa dia mengenakan gaun seorang pengantin. Dia mendekatiku. Yang kurasakan sebenarnya bukan ketakutan. Hanya terkejut saja dengan dia yang tiba-tiba ada diruangan itu. Dia masih mendekat dan saking intense nya suasananya aku menjadi lupa apa yang sedang aku lakukan diruangan itu sebenarnya, aku bahkan lupa tentang wanita terapis tadi.
Wanita bergaun pengantin itu sekarang berada tepat disamping tempat tidur terapiku. Mata kami bertemu. Mata biru indah itu tajam sekali dan pandangannya menusuk. Lalu dia tiba-tiba berkata bahwa dia ingin bercerita sebuah kisah. Aku berusaha memproses kata-katanya. Sebuah kisah. Tiba-tiba suasana yang tadinya sedikit horror tapi tak membuatku takut menjadi sedikit tenang. Entah karena apa aku jadi mengiyakan bahwa dia boleh bercerita. Dia duduk disamping tempat tidurku, muka kami cuma berjarak sekitar 30cm aku sekarang bisa benar-benar melihat dengan jelas mata biru itu. Dan aku benar-benar lupa bahwa sesaat sebelumnya aku datang ketempat ini untuk menjalani sesi terapi karena masalahku yang tak bisa tidur. Dan dia mulai bercerita.
Dia bercerita tentang dirinya. Wanita itu berusia 22 tahun. Dia baru menikah kemarin dengan seorang pria tentara yang baru dikenalnya setahun yang lalu. Mereka bertemu di sebuah gereja saat sang pria yang tadinya adalah orang yang tak percaya dengan Tuhan memutuskan untuk mendatangi gereja sebelum ia pergi ke medan perang. Seperti sebuah panggilan dan takdir, sang pria percaya saat dia pertama kali melihat wanita itu bernyanyi paduan suara, wanita itu adalah jodohnya. Entah bagaimana caranya sang pria berhasil meyakinkan wanita itu untuk menunggunya setelah ia pulang dari medan perang. Dan saat itu terjadi pria itu bilang bahwa dia akan menikahi wanita itu. Itu terjadi setahun lalu. Setahun kemudian tepatnya seminggu yang lalu pria itu kembali dan benarlah dia langsung melamar wanita itu dan kemarin mereka menikah. Seharusnya.
Aku memotongnya saat dia bilang “seharusnya”. Aku menanyakan apa maksudnya “seharusnya” itu. Tepat sebelum ia menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba aku terbaring ditempat tidur lain. Tepat setelah mataku berkedip sesaat yang lalu.
Ruangan ini berbeda sekarang. Kepalaku agak sedikit pusing sambil mencoba mencerna keadaan disekelilingku sekarang. Bunyi bip berulang-ulang terdengar senyap dari sebuah mesin disamping tempat tidurku. Kulihat sekali lagi untuk memastikan semuanya, barulah aku tersadar aku berada disebuah kamar rumah sakit. Tanganku terinfus bahkan aku bernafas dengan bantuan selang dan tabung oksigen. Aku tak bisa menggerakkan badanku sama sekali. Berat sekali rasanya. Tak lama kemudian seorang perawat masuk keruangan itu dan dari mukanya dia seperti terkejut. Dia mulai berbicara kepadaku dengan suara yang aku tidak bisa dengar sama sekali. Tak ada suara sama sekali. Hening. Benar-benar hening.
Sekitar beberapa jam sejak aku terbangun itu, dan pikiranku sudah cukup bisa sinkron dengan sekitarku barulah aku memahami apa yang terjadi. Dokter yang menanganiku bilang bahwa aku sudah koma dan terbaring dirumah sakit itu sekitar setahun setengah. Aku tahu. Pertama kali aku mendengar hal ini tentu saja aku kaget bukan main. Ini tidak masuk akal. Bagaimana bisa. Aku kira awalnya dia bohong, tapi dia meyakinkan aku bahwa itulah yang benar-benar terjadi. Dia menanyakan apa hal terakhir yang aku ingat. Aku tentu saja masih ingat apa yang terjadi sebelum aku terbangun dirumah sakit itu. Aku bilang tentang bagaimana aku kesulitan tidur lalu mencoba menemui terapis di dekat blok tempat aku tinggal, bagaimana dia menyarankan untuk memulai sesi terapi, dan aku bahkan menceritakan bahwa sesi terapi itu berjalan dengan sangat aneh, karena aku bertemu wanita bergaun pengantin yang menceritakan sebuah kisah padaku. Aku tahu ini sangat tidak masuk akal. Sangat-sangat tidak masuk akan dan benar-benar aneh.
Dokter itu mengkonfirmasi semua benar terjadi sampai aku mulai sesi terapi, namun dibagian aku bertemu wanita bergaun pengantin itu , dia tidak bisa mengkonfirmasi kebenarannya. Dokter juga mengkonfirmasi bahwa setahun setengah yang lalu rumah sakit ini mendapat telpon dari kantor seorang terapis dan bilang bahwa pasiennya dalam keadaan bernafas namun sudah tertidur selama 12 jam. Saat itulah rumah sakit menjemputku dikantor terapis itu. Saat rumah sakit bertanya apakah ada keluarga yang bisa dihubungi, terapis itu bilang mungkin bisa ditanyakan nanti setelah aku terbangun. Namun rumah sakit tidak akan menyangka aku akan koma dan baru akan terbangun hari ini setelah setahun setengah lamanya. Aku masih mencoba untuk memproses hal ini. Bagaimana bisa. apa yang sebenarnya terjadi. Lalu aku mulai berpikir aku harus menemui terapis itu lagi. Dia pasti tahu sesuatu.
*****
3 hari kemudian aku keluar dari rumah sakit. Aku merasa sudah cukup sehat sekarang. Dan syukurlah aku masih ingat dimana tempat tinggalku. Tentu saja aku masih ingat. Aku tidak merasakan perbedaan apapun. Mereka bilang setahun setengah, rasanya ini tejadi kurang dari 24 jam saja. Tentu saja semuanya masih jelas dipikiranku. Dan tentu saja hal yang pertama aku lakukan adalah mendatangi kantor terapis tempatku berkonsultansi dan menjalani sesi terapi beberapa hari yang lalu. Maksudku setahun setengah yang lalu. Iyakah?
Tempat itu masih sama dan terapis itu masih juga praktik disitu. Saat kami bertemu dia benar-benar tampak terkejut dan merasa senang akhirnya aku terbangun. Dia begitu bersemangat ketika aku menemuinya dan saat itulah kami berbicara tentang hal yang terjadi. Dan dia benar-benar meyakinkanku sekarang bahwa aku memang benar koma selama setahun setengah. Aku melihat-lihat sekilas ruangan itu. Memang tak banyak berubah namun tetap masih sepenuhnya sama sepertinya yang aku ingat. Kecuali satu hal sekarang mengalihkan pikiranku. Sebuah bingkai foto terpampang didinding ruangan itu. Foto itu yang menarik sekarang untukku karena orang dalam foto itu, aku mengenalnya. Ya. Foto dalam bingkai itu adalah foto seorang wanita yang ku temui saat aku sesi terapi setahun setengah yang lalu diruangan ini. Bahkan dalam foto itu wanita itu menggunakan gaun pengantin yang sama. Mata birunya sangat jelas dan mukanya tampak murung. Lalu dalam pikiranku mulai bermain-main dengan kemungkinan-kemungkinan. Siapa wanita dalam foto ini. Aku benar-benar penasaran sekarang.
Lalu aku bertanya kepada terapis itu siapa wanita yang ada difoto ini. Terapis itu lalu bilang satu hal yang akan membuatku benar-benar kaget dan tak percaya. Satu hal yang nantinya akan membuatku sepertinya akan kesulitan tidur lagi karena memikirkan hal ini. Terapis itu bilang bahwa wanita itu adalah neneknya dan foto itu diambil sekitar 82 tahun yang lalu tepat pada hari pernikahannya. Bagaimana mungkin, aku yakin aku benar-benar bertemu dengan dia saat sesi terapi. Aku tidak mungkin salah. Kecuali itu adalah mimpi. Namun rasanya begitu nyata. aku tiba-tiba teringat dengan cerita yang dia kisahkan saat itu. Cerita itu belum selesai itu, aku menjadi penasaran sekarang apa lanjutan cerita itu.
Sepertinya aku cukup lama terdiam dengan segala pikiran-pikiranku itu sampai terapis itu memanggil namaku berkali-kali hingga aku benar-benar bisa mendengarnya. Lalu dia bertanya kepadaku kenapa aku bertanya tentang foto itu. Aku tidak ingin menjawabnya dengan jawaban yang mungkin akan membuat aku terdengar gila. Aku cuma bilang bahwa foto itu tampak terlihat aneh dan tidak biasa. Dia bertanya apa yang aneh dari foto itu. Lalu aku menjawab agak aneh rasanya melihat foto seorang wanita bergaun pengantin pada hari pernikahannya namun tak ada mempelai pria sama sekali. Aku menatap sekali lagi wanita bermata biru dan bergaun pengantin difoto itu. Tatapan tajam itu aku tidak mungkin tak mengenalinya. Apa yang sebenarnya terjadi padamu?
[short strory]
0 komentar:
Post a Comment